Kamis, 05 Desember 2013

Model, Teknik, Metode dan Pendekatan Dalam Pembelajaran

Seringkali para pengajar (baca:guru) rancu dalam memahami komponen-komponen dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.  Terutama yang berkaitan dengan makna model pembelajaran, teknik pembelajaran, metode, serta pendekatan pembelajaran. Berikut ini adalah definisi dari ketiganya.

Model adalah bentuk atau format yang ditawarkan dalam bentuk jadi tinggal pakai. Sehingga model pembelajaran memiliki format yang bisa diikuti, baku dan tidak boleh diubah.

Teknik adalah penerapan pembelajaran secara spesifik/khusus yang telah disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan guru.

Metode merupakan suatu cara mengajar atau langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Yaitu sebagai perangkat teknis yang dipilih dalam proses kegiatan belajar dan mengajar. Misalnya mengajar dengan metode ceramah, tanya jawab, dll.

Sedangkan pendekatan merupakan pola pikir seseorang dalam mencapai tujuan.

Semoga yang sederhana ini dapat menjawab. Matursuwun.

Rabu, 04 Desember 2013

Guru Pembangun Generasi

Sebuah topik pembicaraan bergulir saat istirahat pertama. Salah seorang rekan melontarkan celetukan tajam mengomentari sebuah artikel yang dimuat dalam sebuah media cetak. Inti dari artikel tersebut menyebutkan bahwa guru saat ini adalah produk model  pengajaran lama yang harus bertanggung jawab terhadap para siswa dengan model pengajaran sekarang. 
Jika dianalisa, tidak ada yang salah dengan statemen dalam artikel tersebut, tetapi ada salah satu rekan yang langsung naik pitam dengan gagasan dalam artikel tersebut, beliau mengumpat bahwa penulis artikel tersebut hanya membual dan tidak konsisten dengan kenyataan yang berlaku.
Sejenak saya termenung, ada apa dengan beliaunya?
Seorang guru sudah pasti merupakan produk sebelum era sekarang/saat ini yang pasti akan menyampaikan pengalaman-pengalaman pembelajarannya kepada generasi sekarang. Pun demikian, siklus ini akan berlangsung dan berlaku pada generasi yang akan datang.
Hal ini merupakan bahan refleksi kita sebagai guru untuk selalu mengambil nilai-nilai terbaik dalam setiap jamannya untuk ditularkan, diadaptasikan dan diterapkan pada generasi-generasi setelahnya. Jika sebuah generasi menghasilkan para koruptor kelas kakap, maka sebagai guru hendaknya intropeksi. 
Guru harus selalu mengembangkan kompetensinya, terutama selalu mengupdate kemampuan dalam hal keprofesionalannya. Jangan sampai gaptek atau picik dalam menghadapi kemajuan-kemajuan dalam bidang apapun. 
Miskinnya naluri untuk mengadakan penelitian dan diskusi yang bermutu, membuat guru hanya berkutat pada metode-metode pengajaran yang jauh dari harapan untuk menciptakan generasi hebat. Lebih parahnya lagi, mereka hanya menanti tanggal berganti tanggal hingga saatnya nanti gajian atau terima tunjangan sertifikasi. :(
Bagaimana generasi kita sepuluh tahun mendatang jika masih ada pemikiran-pemikiran anti kemajuan seperti itu?

Jumat, 08 November 2013

Ayam Lodho

Ayam lodho adalah menu wajib dalam acara Muludan atau Maulid Nabi di kampungku. Biasanya disandingkan dengan kering tempe yang kriyuk dan maknyuss... Nyokapku adalah salah satu koki terbaik (persisnya di keluarga guweh :P). Mau nyoba kelezatan ayam lodho khas nyokap aku?
Berikut ini tak kasih contekan resep yakk...

Bahan
1 ekor ayam kampung muda
2 batang serai, dimemarkan
1 cm jahe, dimemarkan
2 lembar daun jeruk, dibuang tulang daunnya
8 buah cabai rawit utuh
2 1/2 sendok teh garam
1 1/2 sendok teh gula merah
750 ml santan dari 1 butir kelapa
500 ml air
2 sendok makan minyak goreng untuk menumis

Bumbu Halus : 

10 butir bawang merah 
6 siung bawang putih
1 sendok teh ketumbar 

10 buah cabai rawit
5 buah cabai merah


Cara membuat :
  1. Panggang ayam di atas bara api sambil sesekali dibalik hingga kesat kekuningan. Sisihkan.
  2. Panaskan minyak. Tumis bumbu halus, serai, jahe, dan daun jeruk sampai harum.
  3. Masukkan ayam. Aduk sampai berubah warna, lalu tambahkan cabai rawit, garam, dan gula pasir. Aduk rata.
  4. Tuang air. Masak sampai ayam empuk.
  5. Tuang santan sambil diaduk sampai mendidih dan matang dan rasanya cukup. Angkat. 
  6. Goreng ayam dengan mentega atau minyak goreng hingga kuning kecoklatan.
  7. Siap disantap.

Refleksi Pembelajaran Bahasa Inggris di Kelas Rendah Sekolah Dasar

Ada beberapa hal esensial yang perlu disikapi dengan bergulirnya Kurikulum 2013 utamanya pada satuan pendidikan tingkat sekolah dasar. Salah satu di antaranya adalah pengajaran Bahasa Inggris di kelas rendah. Pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar di kelas tinggi maupun rendah selama inipun masih perlu dikaji ulang. Karena minimnya tenaga pendidik yang berkualitas dan memahami TEYL (Teaching English for Young Learners). Dengan kebijakan Kurikulum 2013, menempatkan guru kelas 1, 2, dan 3 mengampu mata pelajaran bahasa Inggris di kelas mereka masing-masing. Yang menjadi masalah, kemampuan mendidik dan mengajar mereka masih perlu dipertanyakan. Walaupun secara teori dengan adanya program sertifikasi guru diharapkan guru SD merupakan sumber daya manusia profesional yang mampu mengampu kelas secara keseluruhan. Tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Banyak penyimpangan-penyimpangan dalam hal pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing oleh guru-guru yang tidak memiliki kompetensi mengajar bahasa asing secara memadai, bahkan mengacaukan proses pengajaran bahasa asing pada tingkat selanjutnya.
Lebih mirisnya lagi, pembelajaran bahasa Inggris di SD hanya dialokasikan agar peserta didik mampu mengerjakan soal-soal uji kompetensi kognitifnya, sehingga kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran bahasa sama sekali tidak mencapai tujuan yang diinginkan.

Seorang pendidik anak usia dini sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran terlebih dahulu perlu memperhatikan karakteristik anak-anak yang dididik dan diajar agar program pembelajarannya sesuai dengan perkembangan dimensi anak-anak yang meliputi dimensi kognitif, bahasa, kreativitas, emosional dan sosial (Moeslichatoen, 1999).

Peserta didik pada level kelas rendah masih dapat dikategorikan pebelajar usia dini, sehingga diperlukan seorang pembelajar yang  berkompetensi tinggi, sehingga mapu bersinergi dengan proses pembelajaran selanjutnya. Dari pengamatan di lapangan saat ini, peserta didik hanya dilatih mengerjakan soal-soal di LKS yang ternyata juga mengandung banyak penyimpangan-penyimpangan utamanya dalam hal pengadaannya. Perlu diadakan koordinasi agar peserta didik mendapatkan hak memperolah pengalaman terbaik dalam proses pembelajaran, bukan sekedar lolos dan lulus dari standar minimal penilaian kognitif. Lebih dari itu agar mampu menciptakan kesadaran akan pentingnya menguasai bahasa asing untuk mampu bersaing dalam dunia nyata kelak di kemudian hari.

Jika mau jujur, berapa banyak guru mata pelajaran Bahasa Inggris taruhlah di tingkat kabupaten atau kotamadya yang mampu mendidik dan mengajarkan bahasa asing sebagai sarana untuk meningkatkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme, mungkin jumlahnya  tak genap sejumlah jari tangan. Bahkan dalam program sertifikasipun banyak yang terjungkal, dan susah payah untuk meraih pengakuan seorang guru yang profesional.

Intinya, perlu mawas diri dan pengawasan kontinyu pada pembelajaran Bahasa Inggris di satuan pendidikan sekolah dasar agar meningkatkan kualitas pendidikan dan mutu lulusan sekolah dasar di Indonesia, utamanya dalam rangka mewujudkan  Indonesia Hebat menjelang usianya yang (masih jauh) hampir 100 tahun.


Rabu, 16 Oktober 2013

Mencari Teladan

Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan tragedi memilukan yang  menampar wajah peradilan di negeri ini. Benteng terakhir peradilan di bumi Indonesia ambruk lunglai  karena ulah seorang pemimpin yang korup, menyusul seorang pemimpin daerah yang terlibat KKN, dan rentetan-rentetan peristiwa yang tercipta dari semakin mengakar dan mengumbinya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Ibarat pagar makan tanaman, para pemimpin di negeri kita berlomba-lomba untuk mencari keuntungan pribadi dengan mengorbankan integritas sebagai seorang teladan yang harus dilakoninya sebagai seorang yang berada di garis terdepan. Mencari sosok pemimpin yang setia mengemban amanat penderitaan rakyat di negeri ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Lalu, ke mana lagi kita mencari figur teladan jika pemimpin-pemimpin tak mampu lagi memberi suri tauladan? 
Di tengah-tengah kegalauan ini muncul sebuah kecenderungan mencari figur teladan dari kaum kelas bawah. Seperti dicontohkan, masyarakat kita dibuat kagum dan berdecak oleh seorang tukang becak yang mampu berangkat menunaikan ibadah haji dengan menyisihkan sedikit dari pendapatannya yang juga sedikit selama puluhan tahun hingga mampu melaksanakan ibadah wajib agamanya. Ada lagi, seorang nenek penjual koran yang mampu melaksanakan kurban dengan menyisihkan keuntungan penjualan korannya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang menjadi hits untuk diperbincangkan.
Maka tidak menutup kemungkinan, akan ada unsur-unsur yang bermain dan memanfaatkan moment tak terduga ini dengan orientasi keuntungan pribadi. Misalnya dengan melakukan trik-trik settingan seperti yang dilakukan oleh selebriti tanah air maupun orang-orang yang terobsesi menjadi figur publik.
Banyak dari kita merasa narsis, hal ini dimungkinkan karena alam bawah sadar kita mengakui bahwa saat ini tak ada figur yang mampu dijadikan teladan dan idola bagi diri pribadi. Sehingga semakin melegalkan tindakan-tindakan narsistis.
Jika direnungkan dengan 

Senin, 23 September 2013


MAKNA INDAH DARI KELEZATAN KETUPAT

Kuliner legendaris ini seakan-akan menjadi sebuah keniscayaan bagi orang-orang yang merayakan Idul Fitri. Bahkan, yang tidak merayakanpun kebagian rezeki untuk merasakan kelezatan paduan pulen ketupat dan gurihnya opor ayam/ gulai daging...:)

Bagi wong Jawa, yang kental dengan utak-atik mathuknya ketupat memiliki makna yang luar biasa dalam. Ketupat selalu disandingkan dengan lepet, yaitu hidangan dari ketan yang dicampur dengan parutan kelapa dan garam, dibungkus daun pisang, kemudian direbus bersama ketupat dalam satu wadah yang besar. Inilah yang melatar belakangi mengapa keduanya selalu dikaitkan. Ibaratnya two in one, all for one, atau apadah....hehehehe... Ketupat dalam bahasa Jawa KUPAT, dianalogikan AKU LEPAT atau NGAKU LEPAT, yang berarti semua individu pada hari indah itu berebut mengaku memiliki kesalahan atau dosa, sehingga perlu untuk meminta maaf. Dalam setiap perjumpaan dengan sanak saudara, tetangga, maupun siapa saja mereka mengatakan, "Sedaya kalepatan, kula nyuwun pangapunten".

Bayangkan, betapa indahnya jika hidangan ini selalu tersedia di meja makan seluruh manusia Indonesia. Maka dipastikan, tidak ada lagi pemimpin yang adigang,adigung, adiguna yang pantang meminta maaf atas kesalahannya kepada rakyat, tidak ada lagi manusia Indonesia yang egois dan mau menang sendiri, karena masing-masing akan dengan kesatria menyatakan bahwa ia tidaklah sempurna, penuh dengan kekurangan dan kesalahan. Sehingga mengaku salah dan MEMINTA MAAF adalah karakter andalan nan indah yang dimiliki negeri ini. 

Ah, indah nian negeri kita, dari segala yang terhubung dan terkait di dalamnya merupakan sebuah harmoni. Mengapa masih juga ada jiwa-jiwa kotor yang penuh nafsu angkara murka menghapus segala keindahan di dalamnya untuk digantikan dengan budaya dari antah berantah, penuh dengan kekasaran, penghancuran, dan kejahilan. Mari kita resapi, mengenal jati diri tidak harus menunggu datangnya ratu adil, detik inipun hati kita dapat tersentuh, dengan menikmati sepiring ketupat disiram kuah opor ayam nan lezat. Seperti aku yang selalu rindu ketupat dan opor ayam buatan nyokapku...:) 

Bisnis Pendidikan


Bisnis erat kaitannya dengan tujuan keuntungan (profit oriented). Apa jadinya bila pendidikan dijadikan ajang bisnis? Itulah pertanyaan klasik, yang tak harus dijawab karena semua orangpun tahu bahwa praktik bisnis pendidikan di negara ini bukan hal yang menghebohkan lagi. Bahkan sudah menjadi sesuatu yang sangat dimaklumi.

Beberapa waktu yang lalu, beberapa rekan yang berkecimpung di dunia pendidikan khususnya sebagai guru SD diresahkan dengan adanya peraturan yang mengatur relevansi ijazah yang harus dimiliki dengan pembelajaran yang diampunya. Seorang guru SD harus memiliki ijazah paling tidak Sarjana Strata 1 Pendidikan Guru SD bla...bla..bla...

Maka, kehebohan inipun dibidik oleh beberapa oknum berotak bisnis yang menawarkan pendidikan instan demi liniernya pendidikan para bethara dan bethari guru. Dengan berbagai macam strategi pemasaran yang membuai, mereka-mereka yang merasa tidak memiliki ijazah linier beramai-ramai mendaftar. Saya jadi termangu, bukankah mereka semua telah bergelar Sarjana Strata 1 Pendidikan (S.Pd)?

Tidak juga berhenti disitu, para pebisnis itupun menawarkan produk berupa sarjana Strata 2 yang juga idem ditto instant  :( how awful , bagi mereka yang ogah kembali dari nol untuk meraih S.Pd SD . :( disgusting
Sejenak, saya berhenti berfikir...karena pemikiran para pialang ijazah tersebut sudah begitu jauh melesat hingga saya tak mampu menganalisa dengan akal sehat...:p what the f**k with my brain or what they do

Aneh sekali, bisnis pendidikan tersebut ternyata digawangi oleh orang-orang yang tahu persis tentang kebijakan-kebijakan pendidikan. Betapa ironis, mereka yang seharusnya mendukung kebijakan justru memperjualbelikan peraturan demi kelangsungan hidup rekening pribadinya. Mereka sudah lebih dulu tahu dengan persis peraturan perundangan atau kebijakan tentang pendidikan, pendidik, maupun tenaga kependidikan, tetapi malah menggunting di dalam lipatan, mengail di air keruh. Lebih menjijikkan lagi merekapun melakukan bully terhadap guru yang tidak memiliki ijazah linier. Sertifikasi dicabutlah, kenaikan tingkat ditundalah, apalah.....

Ketidakteraturan dan penyimpangan di negeri ini benar-benar jauuuhhh melesat dari ambang batas toleransi. Sudah mengalami masa jaman edan, masa di mana salah menjadi benar, benar menjadi salah. Busuk dipuja, jujur dikubur....
:( 

Jika pendidikan bukan lagi dianggap sebagai pencerah dan penyelamat masa depan bangsa, sebagai tolok ukur peradaban suatu bangsa, sebagai indikator kemajuan, sebagai benteng pertahanan bangsa...tetapi hanya onggokan barang yang dijadikan komoditas bisnis, tinggal tunggu waktu peradaban bangsa ini akan hancur.

Masih adakah hati di sana yang mau dan mampu membangunkan generasi hebat yang akan menjadikan bangsa ini sehebat jaman keemasan Majapahit? Kita tunggu jawabannya setelah iklan yang mau lewat....:P


Sabtu, 31 Agustus 2013

Memutus Mata Rantai Ketidak Jujuran

Suatu siang, saat jam istirahat kedua kami sejenak melepas penat sambil menikmati segelas teh dingin yang telah disiapkan Pak Penjaga Sekolah sejak pagi. Di sela-sela waktu santai itu, seorang rekan melemparkan satu statemen yang membuat saya mengeryitkan dahi sekaligus mendidihkan emosi. Beliau mengatakan, jika ingin mendongkrak  gengsi sekolah - yang terpuruk karena hasil ujian nasional yang jeblok - sebaiknya guru kelas terutama guru kelas 6 membiarkan anak-anak didiknya untuk mencontek atau bekerja sama dalam mengerjakan ujian. Bahkan beliau berani bertaruh, bahwa hasil ujian nasional yang telah berlalu banyak sekolah-sekolah yang dulunya underdog menjadi the best ten dalam perolehan nilai terbaik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Lebih miris lagi, dengan lantang beliau mengatakan toh kalau guru-guru di sekolah dasar memberi didikan karakter jujur, di SMP justru para guru di sana mengajarkan kecurangan saat ujian agar siswanya lulus 100%.

Beberapa saat saya berusaha calm down sambil mengambil napas dalam untuk meredakan gejolak emosi yang hampir menggelegak. Terus terang saja, saya masih yunior dalam hal mengampu kelas atas terutama kelas 6. Bahkan tahun kemarin adalah tahun pertama saya memegang kelas tertinggi. Dengan pertimbangan idealisme dan upaya menumbuhkan kesadaran pribadi untuk memperbaiki karakter peserta didik, saya menerapkan kedisiplinan dalam hal kejujuran. Saya membiasakan diri pribadi saya dan saya tularkan kepada anak-anak didik untuk mengatakan TIDAK untuk mencontek ataupun berbuat curang dalam segala hal utamanya dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Setiap saat saya selalu menitipkan pesan agar kita meletakkan nilai-nilai kejujuran dan jiwa besar. Misalnya membiasakan mengatakan maaf, tolong, terima kasih, juga membiasakan berani bertanya pada guru jika ada kesulitan atau kurang paham, membiasakan do it ourselves setiap tugas mandiri, dan membiasakan tidak bekerja sama dalam ujian atau mencontek. Bahwa hasil pembelajaran berbanding lurus dengan proses. Jadi selalu ditanamkan kesadaran, bahwa usaha dalam proses pembelajaran yang maksimal akan membawa hasil pembelajaran maksimal. 

Adanya anggapan anak yang tidak belajarpun dapat memperoleh hasil maksimal, benar-benar mentah dengan pembuktian tersebut. Walhasil, nilai ujian nasional siswa yang telah terbekali dengan keyakinan dan prinsip kejujuran malah menjadi dilema. Para guru bahkan menyalahkan lompatan kecil yang menurut saya penting ini sebagai tindakan konyol yang mampu meruntuhkan gengsi sekolah. Dan sayapun tak bergeming...

Saya jadi ingat, beberapa puluh tahun yang lalu saat saya belajar di salah satu SMP yang termasuk kampiun mencetak alumni yang mumpuni. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 1. Saat pelajaran Matematika, bapak guru mengajarkan konsep-konsep geometri. Salahsatu teman saya membuat onar, dan disuruh mengerjakan soal di papan tulis. Soal-soal itu tidak terlalu sulit, tapi teman saya tidak mampu mengerjakannya. Kontan, pak guru bertanya " Biji Matematikamu ning Danem pira, Le? " (Nilai Matematika di Daftar Nilai Ebtanasmu berapa, Nak?). Teman saya menjawab, "Sembilan, Pak". Sekilas saya melihat beliau mengelus dada, dan usut punya usut ternyata ada juga praktik rekayasa nilai sekolah agar lolos masuk sekolah favorit..:(

Tetapi tentunya ada hukum alam. Survive for the fittest. Tetapi yang menjadi persoalan, bagaimana memutus rantai ketidak jujuran dalam masyarakat kita jika notabene seorang guru bahkan mempunyai pendapat yang kontroversial. Jika kita mau jujur, masih banyak beliau-beliau yang lain di sekolah-sekolah seluruh negeri ini. Dan jika mau jujur, prosentase beliau-beliau ini lebih besar daripada yang memiliki idealisme yang dianggap konyol seperti saya...

Mari kita jujur pada diri kita sendiri, sudah jujurkah kita??

Ah, klise sekali... 


Minggu, 04 Agustus 2013

Firasat-firasat Yang Dapat Dibaca Dari Tingkah Laku Binatang Di Sekitar Kita


Beberapa waktu yang lalu, masyarakat di lingkungan saya dipusingkan dengan merajalelanya hewan pengerat yaitu tikus yang mengobrak-abrik rumah mereka. Tikus-tikus tersebut utamanya menjarah hasil panen, baik padi, jagung, maupun kedelai. Tak hanya itu, pengerat-pengerat itu ternyata doyan majalah, koran, baju-baju, kabel-kabel, kayu-kayu, bahkan alat-alat elektronikpun tak lepas dari keganasannya.

Saya mencoba teknik konvensional dari teori bahwa semakin bersih lingkungan, hewan pengerat itu tak bakal menyatroni. Oleh sebab itu saya semakin rajin beberes rumah. Hingga hampir dipastikan tak ada barang-barang kotor atau berantakan di rumah. Tapi, teori itu terbantahkan, karena tikus-tikus itu malah semakin berani berkeliaran di meja-meja yang sudah dirapikan, bahkan dilap dengan produk pembersih yang lagi hits saat ini :P.

Ternyata keluhan saya tidak hanya berhenti sampai disitu, si Belang kucing saya yang biasa gesit menangkap tikus, sekarang kelihatan ogah-ogahan. Saking seringnya dapat tangkapan, sampai-sampai si Belang bosan dengan menu tikus segar #awful bgt :(. Saya pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri, si Belang dibuat lari terbirit-birit ketika ada tikus besar atau tikus wirog yang mampir di teras rumah. Akhirnya saya sendiri yang turun tangan dengan menggebug si tikus raksasa dengan sapu. Alhasil si tikus cuma sempoyongan dan kabur. Sedangkan saya harus merelakan gagang sapu saya patah....:(

Jengkel dengan kelakuan si tikus-tikus nakal, saya nekat membeli produk pestisida berupa umpan beracun yang katanya manjur, sesuai dengan indikasi dalam kemasan :). Namun, lagi-lagi saya dipecundangi. Mereka tak menyentuh sedikitpun umpan beracun tersebut...Bener-bener jenius :(

Ketika saya berada di titik nadir kejengkelan, tak sengaja di suatu sore saya iseng main ke sawah, saya bertemu dengan bapak-bapak petani yang sedang duduk-duduk santai di huma dekat sawah ayah saya. Saya ikut nongkrong di situ, ngobrol-ngobrol hingga topik tentang tikus.#pas banget :P. Saat saya bercerita tentang "penderitaan" saya karena tikus, seorang bapak mengatakan bahwa seharusnya kita mau mawas diri dengan fenomena tersebut. Sekarang banyak orang dibutakan oleh nafsu dunia sehingga nalarnya pendek bahkan hilang sama sekali untuk meraba firasat-firasat yang diberikan Tuhan kepada manusia. Saya jadi penasaran....

Fenomena tikus-tikus ini pernah terjadi menjelang meletusnya Gerakan 30 September 1965. Masih menurut bapak tadi, tikus-tikus pada saat itu juga tidak terkendali sehingga perlu diadakan pembasmian besar-besaran di seluruh kampung. Dan hal itu merupakan kaca benggala akan pembasmian unsur-unsur yang berbau komunisme setelah peristiwa G 30 S/PKI...Saya sangat ngeri,mendengar kisah-kisah tragis dari bapak tadi.

Tikus-tikus yang meraja lela saat ini adalah cerminan para koruptor yang sedang hits di negeri kita. Begitu televisi menyala, dan tombol remote control ditekan, dipastikan berita tentang korupsi selalu menghiasi headline news. Si Belang yang ogah-ogahan memangsa tikus-tikus adalah cerminan para penegak hukum yang juga ogah-ogahan memberantas korupsi, karena sudah bosan dan jenuh. Bahkan, kalah kuasa dari tikus-tikus berdasi...


Masih banyak firasat-firasat dari binatang yang akan kita kupas, just wait and see. To be continued.....:)




Kamis, 01 Agustus 2013

Filosofi Dalam Kuliner Jawa

Dalam kehidupan masyarakat Jawa, segala hal dalam peri kehidupannya sangat kental dengan filosofi atau "kawruh" atau "ngelmu". Termasuk di dalamnya adalah kulinernya. Bahkan dalam kesastraan Jawa terdapat 'kerata basa" yang berhubungan dengan kuliner. 

Mari kita bicarakan tiga kuliner yang pastinya sangat dikenal oleh sebagian besar masyarakat kita, tidak hanya "wong Jawa" :)

1. Wedang
Wedang dari kata "ngawe kadhang" (memanggil saudara). Masyarakat Jawa menyebut minuman yang melalui proses perebusan dengan istilah wedang. Ada wedang kopi, wedang teh, wedang uwuh, wedang ronde, dan sebagainya. Masyarakat Jawa percaya, jika menyuguhkan wedang, berarti akan banyak saudara yang sudi bersilaturahmi. Silaturahmi diyakini memanjangkan umur dan mengeratkan kekeluargaan. #makes sense :)


2. Buceng
Kebanyakan orang menyebut kuliner ini dengan nama tumpeng. Masyarakat Jawa menyebut Buceng dari kata "kalbu kang kenceng" atau kalbu yang kuat. Saya jadi ingat, saat saya masih belum baligh ibu saya selalu membuatkan buceng di setiap weton atau hari kelahiran saya. Weton adalah pasaran dalam penanggalan Jawa. Ayah saya selalu memberikan nasehat dan doa sebelum nasi kuning yang dibentuk kerucut itu diserbu oleh saya sendiri, saudara-saudara, dan anak-anak tetangga yang diundang. Beliau mengatakan, dengan hati yang kuat kita akan dengan percaya diri menghadapi segala tantangan di masa yang akan datang. #jadi terharu :'(


3. Golong
Last but not least, Golong/ Bundar / Gilig. Kuliner ini biasanya dibuat dalam acara selamatan mengirimkan doa untuk para leluhur yang telah tiada. Juga saat selamatan tasyakuran panen, khitan, wisuda, sampai ubarampe temanten. Dimaksudkan agar kita senantiasa golong/gilig atau memiliki tekad yang bulat dalam meraih cita-cita/ mewujudkan harapan. Masih banyak dijumpai di beberapa daerah di pedesaan, kalau kita datang pada acara hajatan pernikahan selalu ada tradisi mbecek atau buwuh. Tetamu putri yang datang, ketika pulang akan "diberkati" atau diberi nasi yang dibungkus dengan daun jati, dibentuk golong atau bundar. Biasanya ditemani dengan sayur nangka muda atau sayur tempe pedas. Kebayang aroma khas daun jati yang bergumul dengan nasi panas dan sayur khas ndeso yang sedap membahana....:D Itu semua adalah permohonan atau doa agar senantiasa dituntun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan diberikan kebulatan tekad dalam segala hal yang bersifat positif.

Masih ada lagi yang lebih menarik, bakal dilanjut pada bahasan berikutnya. Mari kita gali nilai-nilai karakter mulia dari kearifan lokal yang dimiliki bangsa kita. Yang tradisional tidak selamanya katrok, Indonesia sungguh kaya dengan budaya, mari kita mengekspor budaya kita agar mampu dikenal dan ditiru oleh bangsa lain. Bukan sebaliknya, kita mengimpor budaya asing yang belum tentu sesuai dengan alam pikir dan manfaat yang akan kita dapatkan untuk kemajuan bangsa... :)

Sabtu, 27 Juli 2013

MENGEMBALIKAN FUNGSI KELUARGA SEBAGAI PILAR PENDIDIKAN BAGI KEBERHASILAN BELAJAR ANAK DIDIK


Telah dinyatakan sebagai sebuah paradigma dalam pendidikan yang ideal, bahwa pilar pendidikan terdiri dari tiga unsur utama yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri lagi, adanya perubahan sosial membawa dampak pada setiap sendi-sendi kehidupan manusia. Perubahan pola pikir manusia menyikapi tuntutan jaman, kebutuhan hidup, gaya hidup, dan trend yang sedang berkembang dalam masyarakat  dewasa ini, juga mengakibatkan dampak berupa pergeseran peran dan fungsi keluarga.
Sudah sangat dimaklumi dalam masyarakat kita yang sangat kental dengan budaya patriarkinya, menempatkan wanita sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga. Saat ini Tenaga Kerja (baca: Buruh) Migran Indonesia didominasi oleh wanita yang dipekerjakan pada sektor-sektor domestik yang tidak terlalu menuntut kemampuan akademis formal. Ketidakberadaan seorang wanita sebagai ibu dalam keluarga yang seharusnya menjadi garda terdepan bagi perkembangan fisik maupun psikis anak-anaknya, sudah pasti akan membawa dampak yang sangat signifikan. Keadaan ini sangat pengaruh terhadap perkembangan jiwa anak-anak sebagai anak didik di sekolah sebagai rumah keduanya. Tidak jarang kita amati anak didik kita yang ibunya bekerja sebagai buruh migran terlihat lusuh, kumal, dan tidak terurus. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, dalam hal prestasi belajarpun banyak mengalami kasus berupa kesulitan-kesulitan dalam memusatkan perhatian.

Ki Hajar Dewantara (1977: 374) menegaskan bahwa keluarga adalah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan ujudnya daripada pusat lain-lainnya, untuk melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individual) dan sebagai persediaan hidup kemasyarakatan.
Urgensi keluarga sebagai pilar pendidikan sangat nyata. Tetapi, dalam pelaksanaan secara faktual, hal ini dianggap sepele, bahkan tidak dianggap sama sekali. Dari tahun ke tahun jumlah anak usia sekolah yang mengalami disorientasi karena orangtuanya bekerja diluar negeri tidak semakin berkurang, justru meningkat dan harus segera ditindak lanjuti agar tidak memperburuk keadaan.
Anak-anak usia sekolah, utamanya sekolah dasar, kehadiran ibu sangat diperlukan. Mereka memerlukan sosok ibu sebagai pelindung mental spiritualnya. Keluarga yang minus ibu di rumah jarang sekali menghasilkan anak-anak yang berprestasi. Justru infiltrasi hal-hal buruk pada anak-anak dimulai ketika mereka dibiarkan terpapar pada lingkungan pergaulan orangtua laki-laki (baca: bapak). Sangat menyedihkan, ketika seorang anak SD kelas dua telah mencicipi rokok dan minuman keras ketika diajak bapaknya "bersilaturahmi" ke teman-teman bapaknya yang notabene "tidak beres".
Penulis pernah mendengarkan khotbah nikah seorang ustad yang menurut penulis sangatlah gentle. Beliau menyampaikan, apabila seorang suami membiarkan istrinya bekerja ke luar negeri itu sudah menunjukkan itikad yang kurang baik. Sebagai pemimpin keluarga, suami harus "berjibaku" demi keluarga apapun resikonya. Bukan dengan meminta istri meninggalkan anak-anak dan keluarganya bekerja menafkahi keluarga. Karena laki-laki berkuasa atas wanita karena diberikan padanya kewajiban untuk menafkahi wanita.
Hal tersebut juga menggelitik penulis, ketika mengampu mata kelas IPS tentang keluarga. Saat membahas peran dan tugas  anggota keluarga, anak-anak kelas dua SD yang masih polos memberikan jawaban di luar dugaan penulis. Sungguh ironis dan sangat memprihatinkan. Tetapi itulah realita yang sedang kita hadapi saat ini. 
Pertanyaan yang sering bergelayut di alam pikiran penulis adalah, kapankah bangsa kita kembali ke khitah menjadi lebih beradab, memiliki calon-calon penerus yang berkualitas? Masih adakah kepedulian itu? Masih layakkah keluarga sebagai tempat kita kembali? Kembali membangun, kembali mengumpulkan serpihan-serpihan yang terkoyak dan terlupakan dari realita anak-anak bangsa? Kurikulum pendidikan formal bolehlah canggih, baru dan diperbarui setiap tahun, pun kurikulum pendidikan dalam keluarga harus digali dan dihidupkan lagi untuk Indonesia yang lebih berkemanusiaan. Mari kita lakukan perubahan mulai dari diri dan keluarga kita masing-masing.