Sabtu, 31 Agustus 2013

Memutus Mata Rantai Ketidak Jujuran

Suatu siang, saat jam istirahat kedua kami sejenak melepas penat sambil menikmati segelas teh dingin yang telah disiapkan Pak Penjaga Sekolah sejak pagi. Di sela-sela waktu santai itu, seorang rekan melemparkan satu statemen yang membuat saya mengeryitkan dahi sekaligus mendidihkan emosi. Beliau mengatakan, jika ingin mendongkrak  gengsi sekolah - yang terpuruk karena hasil ujian nasional yang jeblok - sebaiknya guru kelas terutama guru kelas 6 membiarkan anak-anak didiknya untuk mencontek atau bekerja sama dalam mengerjakan ujian. Bahkan beliau berani bertaruh, bahwa hasil ujian nasional yang telah berlalu banyak sekolah-sekolah yang dulunya underdog menjadi the best ten dalam perolehan nilai terbaik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Lebih miris lagi, dengan lantang beliau mengatakan toh kalau guru-guru di sekolah dasar memberi didikan karakter jujur, di SMP justru para guru di sana mengajarkan kecurangan saat ujian agar siswanya lulus 100%.

Beberapa saat saya berusaha calm down sambil mengambil napas dalam untuk meredakan gejolak emosi yang hampir menggelegak. Terus terang saja, saya masih yunior dalam hal mengampu kelas atas terutama kelas 6. Bahkan tahun kemarin adalah tahun pertama saya memegang kelas tertinggi. Dengan pertimbangan idealisme dan upaya menumbuhkan kesadaran pribadi untuk memperbaiki karakter peserta didik, saya menerapkan kedisiplinan dalam hal kejujuran. Saya membiasakan diri pribadi saya dan saya tularkan kepada anak-anak didik untuk mengatakan TIDAK untuk mencontek ataupun berbuat curang dalam segala hal utamanya dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Setiap saat saya selalu menitipkan pesan agar kita meletakkan nilai-nilai kejujuran dan jiwa besar. Misalnya membiasakan mengatakan maaf, tolong, terima kasih, juga membiasakan berani bertanya pada guru jika ada kesulitan atau kurang paham, membiasakan do it ourselves setiap tugas mandiri, dan membiasakan tidak bekerja sama dalam ujian atau mencontek. Bahwa hasil pembelajaran berbanding lurus dengan proses. Jadi selalu ditanamkan kesadaran, bahwa usaha dalam proses pembelajaran yang maksimal akan membawa hasil pembelajaran maksimal. 

Adanya anggapan anak yang tidak belajarpun dapat memperoleh hasil maksimal, benar-benar mentah dengan pembuktian tersebut. Walhasil, nilai ujian nasional siswa yang telah terbekali dengan keyakinan dan prinsip kejujuran malah menjadi dilema. Para guru bahkan menyalahkan lompatan kecil yang menurut saya penting ini sebagai tindakan konyol yang mampu meruntuhkan gengsi sekolah. Dan sayapun tak bergeming...

Saya jadi ingat, beberapa puluh tahun yang lalu saat saya belajar di salah satu SMP yang termasuk kampiun mencetak alumni yang mumpuni. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 1. Saat pelajaran Matematika, bapak guru mengajarkan konsep-konsep geometri. Salahsatu teman saya membuat onar, dan disuruh mengerjakan soal di papan tulis. Soal-soal itu tidak terlalu sulit, tapi teman saya tidak mampu mengerjakannya. Kontan, pak guru bertanya " Biji Matematikamu ning Danem pira, Le? " (Nilai Matematika di Daftar Nilai Ebtanasmu berapa, Nak?). Teman saya menjawab, "Sembilan, Pak". Sekilas saya melihat beliau mengelus dada, dan usut punya usut ternyata ada juga praktik rekayasa nilai sekolah agar lolos masuk sekolah favorit..:(

Tetapi tentunya ada hukum alam. Survive for the fittest. Tetapi yang menjadi persoalan, bagaimana memutus rantai ketidak jujuran dalam masyarakat kita jika notabene seorang guru bahkan mempunyai pendapat yang kontroversial. Jika kita mau jujur, masih banyak beliau-beliau yang lain di sekolah-sekolah seluruh negeri ini. Dan jika mau jujur, prosentase beliau-beliau ini lebih besar daripada yang memiliki idealisme yang dianggap konyol seperti saya...

Mari kita jujur pada diri kita sendiri, sudah jujurkah kita??

Ah, klise sekali... 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar