Sabtu, 27 Juli 2013

MENGEMBALIKAN FUNGSI KELUARGA SEBAGAI PILAR PENDIDIKAN BAGI KEBERHASILAN BELAJAR ANAK DIDIK


Telah dinyatakan sebagai sebuah paradigma dalam pendidikan yang ideal, bahwa pilar pendidikan terdiri dari tiga unsur utama yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri lagi, adanya perubahan sosial membawa dampak pada setiap sendi-sendi kehidupan manusia. Perubahan pola pikir manusia menyikapi tuntutan jaman, kebutuhan hidup, gaya hidup, dan trend yang sedang berkembang dalam masyarakat  dewasa ini, juga mengakibatkan dampak berupa pergeseran peran dan fungsi keluarga.
Sudah sangat dimaklumi dalam masyarakat kita yang sangat kental dengan budaya patriarkinya, menempatkan wanita sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga. Saat ini Tenaga Kerja (baca: Buruh) Migran Indonesia didominasi oleh wanita yang dipekerjakan pada sektor-sektor domestik yang tidak terlalu menuntut kemampuan akademis formal. Ketidakberadaan seorang wanita sebagai ibu dalam keluarga yang seharusnya menjadi garda terdepan bagi perkembangan fisik maupun psikis anak-anaknya, sudah pasti akan membawa dampak yang sangat signifikan. Keadaan ini sangat pengaruh terhadap perkembangan jiwa anak-anak sebagai anak didik di sekolah sebagai rumah keduanya. Tidak jarang kita amati anak didik kita yang ibunya bekerja sebagai buruh migran terlihat lusuh, kumal, dan tidak terurus. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, dalam hal prestasi belajarpun banyak mengalami kasus berupa kesulitan-kesulitan dalam memusatkan perhatian.

Ki Hajar Dewantara (1977: 374) menegaskan bahwa keluarga adalah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan ujudnya daripada pusat lain-lainnya, untuk melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individual) dan sebagai persediaan hidup kemasyarakatan.
Urgensi keluarga sebagai pilar pendidikan sangat nyata. Tetapi, dalam pelaksanaan secara faktual, hal ini dianggap sepele, bahkan tidak dianggap sama sekali. Dari tahun ke tahun jumlah anak usia sekolah yang mengalami disorientasi karena orangtuanya bekerja diluar negeri tidak semakin berkurang, justru meningkat dan harus segera ditindak lanjuti agar tidak memperburuk keadaan.
Anak-anak usia sekolah, utamanya sekolah dasar, kehadiran ibu sangat diperlukan. Mereka memerlukan sosok ibu sebagai pelindung mental spiritualnya. Keluarga yang minus ibu di rumah jarang sekali menghasilkan anak-anak yang berprestasi. Justru infiltrasi hal-hal buruk pada anak-anak dimulai ketika mereka dibiarkan terpapar pada lingkungan pergaulan orangtua laki-laki (baca: bapak). Sangat menyedihkan, ketika seorang anak SD kelas dua telah mencicipi rokok dan minuman keras ketika diajak bapaknya "bersilaturahmi" ke teman-teman bapaknya yang notabene "tidak beres".
Penulis pernah mendengarkan khotbah nikah seorang ustad yang menurut penulis sangatlah gentle. Beliau menyampaikan, apabila seorang suami membiarkan istrinya bekerja ke luar negeri itu sudah menunjukkan itikad yang kurang baik. Sebagai pemimpin keluarga, suami harus "berjibaku" demi keluarga apapun resikonya. Bukan dengan meminta istri meninggalkan anak-anak dan keluarganya bekerja menafkahi keluarga. Karena laki-laki berkuasa atas wanita karena diberikan padanya kewajiban untuk menafkahi wanita.
Hal tersebut juga menggelitik penulis, ketika mengampu mata kelas IPS tentang keluarga. Saat membahas peran dan tugas  anggota keluarga, anak-anak kelas dua SD yang masih polos memberikan jawaban di luar dugaan penulis. Sungguh ironis dan sangat memprihatinkan. Tetapi itulah realita yang sedang kita hadapi saat ini. 
Pertanyaan yang sering bergelayut di alam pikiran penulis adalah, kapankah bangsa kita kembali ke khitah menjadi lebih beradab, memiliki calon-calon penerus yang berkualitas? Masih adakah kepedulian itu? Masih layakkah keluarga sebagai tempat kita kembali? Kembali membangun, kembali mengumpulkan serpihan-serpihan yang terkoyak dan terlupakan dari realita anak-anak bangsa? Kurikulum pendidikan formal bolehlah canggih, baru dan diperbarui setiap tahun, pun kurikulum pendidikan dalam keluarga harus digali dan dihidupkan lagi untuk Indonesia yang lebih berkemanusiaan. Mari kita lakukan perubahan mulai dari diri dan keluarga kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar