Senin, 22 Juni 2015

PERATURAN DIBUAT UNTUK DILANGGAR?

Sore itu saya sempatkan iseng-iseng cangkrukan di Taman Kota Ponorogo seputaran kompleks Patung Singopitu depan pendapa Kabupaten Ponorogo. Kebetulan di sana ada fasilitas wi-fi gretongan yang bisa digunakan oleh masyarakat penggila gratisan seperti saya :P . Sedang asyik-asyiknya browsing dunia maya, tiba-tiba terdengar suara sember khas genjrengan pengamen jalanan. Tiga remaja tanggung, dua laki-laki dan seorang perempuan. Bermodal genjrang-genjreng asal bunyi dan lagu yang terdengar absurd, karena belum pernah saya dengar sebelumnya, salah satu dari remaja itu menyodorkan topi. Tanpa sepatah katapun terucap dari mulut remaja itu, secara otomatis orang-orang yang sedang duduk-duduk di seputaran taman segera mencemplungkan lembaran dua ribuan. Ketika remaja dengan topinya itu sampai di depan saya, segera tangan saya merogoh recehan gopekan dari saku jaket, sisa kembalian belanja tadi. Melihat gopekan yang saya cemplungkan ke dalam topinya, air muka pemuda itu seketika berubah.
Melihat ada sesuatu yang salah, saya bertanya padanya, " Kenapa, Mas?".
"Kok limaratus?", sahut pemuda itu dengan tatapan mata yang sedikit mengancam.
"Kenapa dengan limaratus?", lanjut saya dengan kalem. Tetapi tatapan mata saya sedikit saya lebarkan. Dia menjadi keder. "Mas, limaratus itu juga uang lho, sejuta saja kalau kurang limaratus ya belum bisa disebut genap. Cari uang yang bener dong. Kamu jualan suara apa minta uang? Kalau jualan suara atau mengamen di depan situ kan sudah jelas tulisan DILARANG MENGAMEN DAN BERJUALAN DI TAMAN, sampeyan bisa kena pasal lho!", lanjut saya tanpa titik tanpa koma. Dengan langkah gontai dan muka bersungut-sungut ketiga remaja itu meninggalkan tempat duduk saya.
Beberapa saat kemudian, rombongan pengamen yang lalu lalang tak berani mendekat saya yang sedang asyik dengan gadget di tangan. Dalam hati saya menggumam, ya baguslah kalau mereka mengerti...hehehe....
Bosan kongkow, dan haripun mulai senja, saya segera  beranjak meninggalkan bangku taman kota yang mulai ramai dengan pengunjung. Para penjual makananpun mulai sibuk menata dagangannya di seputaran aloon-aloon kota Reog.
Sebelum motor saya hidupkan, saya sempatkan ngobrol dengan Pak Juru Parkir.
"Pak, kayaknya anak-anak sini banyak yang nggak bisa baca ya?", tanyaku sedikit menyindir.
"Lha kenapa lo, Mbak?", Pak Jukir balik bertanya.
"Lha itu, sudah ada tulisan guedhe-guedhe di papan DILARANG BERJUALAN DAN MENGAMEN DI TAMAN tertanda SATPOL P.P , kok pancet saja banyak yang ngamen?", jawabku.
"Woallaahh, Mbaaakkkk.....ya mbok biar tooo..lha muk ngamen ae dilarang. Lha para pejabat kae sudah tahu DILARANG KORUPSI , kok ya PANCET KORUPSI?", sahut Pak Jukir sambil tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang menghitam dan beberapa yang ompong.
"Iyaa...yaa..Hehehe....!", saya jadi ikut tertawa dengan ironi kehidupan yang nyata-nyata ini.
Saya tepok jidat saya sendiri, dan berlalu meninggalkan pelataran Taman Kota. Tawa saya sebenarnya sebuah bentuk kekecewaan saya, mengapa harus ada peraturan tanpa komitmen untuk mematuhinya.
Lebih baik hapus saja semua larangan, ketika semua dihalalkan dan dibolehkan, sudah pati tidak ada namanya pelanggaran.... :(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar