Selasa, 20 Oktober 2015

KRITIK DAN KITA

Dalam kehidupan ini bisa dikatakan bahwa kritik merupakan suatu nilai dasar dalam hidup. Kritik merupakan tempat dilahirkannya nilai yang digunakan dalam kehidupan. Semakin banyaknya manusia terdidik, maka akan memunculkan orang-orang yang mampu memberikan penilaian kritis, ditambah lagi dengan iklim demokrasi dan kebebasan menyatakan pendapat dalam suatu negara akan menumbuhkan keberanian seseorang untuk menyatakan pendapatnya.
Akan tetapi pada prakteknya terdapat kritik yang sebenarnya bukan kritik melainkan ungkapan emosional atas ketidakpuasan, kemarahan, atau ungkapan ketidaksetujuan dan tidak dapat menerima suatu tata kehidupan, dan dengan serta menentang sesuatu hal yang berlaku.
Banyak orang salah kaprah dalam menyampaikan kritik, apa yang menurutnya sebuah kritik ternyata bukanlah sebuah kritik. Mereka tidak mengetahui situasi yang nyata terhadap suatu hal yang akan dinilainya. Seseorang harus paham seluk beluk hal dan bahkan memainkan peranan dalam materi kritik agar mampu menyampaikan sebuah kritik. Disamping itu seseorang harus paham cara-cara memberikan penilaian yang tepat, dan mampu memberikan gambaran ideal dari seharusnya terjadi pada materi kritik yang disampaikannya. Istilah Jawanya ORA WATON SULAYA. Dengan kata kata lain, seseorang harus bisa menilai dengan bijaksana sebelum mengajukan kritik.
Dalam kehidupan kita, seringkali kritik menjadi bias dengan istilah prasangka buruk atau suudzon. Karena yang kita maksud mengkritik, ternyata hanya merupakan bentuk ketidak sukaan kita terhadap seseorang atau sesuatu. Padahal kritik bukanlah celaan.
Dengan absurdnya pengertian kritik yang cenderung negatif, membuat kita menjadi anti terhadap kritik. Misalnya seorang mahasiswa menjadi takut melakukan konsultasi skripsi dengan alasan takut dikritik oleh dosennya, seseorang enggan menyampaikan pendapat di forum musyawarah karena takut dikritik sesama peserta, seorang pelajar takut tampil ke depan kelas untuk mempresentasikan kemampuannya karena takut dikritik teman atau gurunya, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Dalam hal ini sangat perlu bagi kita untuk meningkatkan pemahaman tentang kritik. Dengan kritik sebenarnya kita mampu menjadikan kehidupan kita menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Kritik tidak sama dengan hinaan, kritik tiddak sama dengan celaan, kritik merupakan tanggapan atau respon dari seorang yang mampu memberi solusi bukan hanya sekedar ASBUN. Saatnya kita menghilangkan konotasi buruk terhadap kritik. Dengan kritikan kita diharapkan terbimbing menjadi manusia dewasa dan memberi kesempatan pada orang lain untuk mengembangkan kemampuan kritis. Kemajuan tidak akan tercapai apabila kita anti terhadap penilaian kritis, karena perkembangan di dunia ini tidak dapat lepas dari penilaian kritis atau kritik.
Mari bersahabat dengan kritik untuk meng-up grade nilai hidup kita.

Minggu, 18 Oktober 2015

PENANAMAN KARAKTER ANTI KORUPSI SEJAK DINI APAKAH HANYA SEKEDAR TEORI?

Sejak lama kampanye anti korupsi digalakkan di negeri ini, meskipun praktik korupsi itu sendiri tidak kurang galak bersaing dengan kampanye tersebut. Kita hidup dalam masyarakat yang cenderung permisif dan mudah memaafkan sesuatu yang dianggap "hanya pelanggaran kecil". Keadaan inilah yang menjadi penghalang bagi suksesnya kampanye anti korupsi di negeri ini.
Lingkungan keluarga selama ini yang diharapkan menjadi garda terdepan penanaman karakter anti korupsi tidak dapat diharapkan, bahkan mirisnya lingkungan sekolahpun menjadi arena penanaman karakter BOLEH KORUPSI. Sehingga kampanye Revolusi Mental yang dulu pernah didengungkan, sudah saatnya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah.
Tipikal permisif dan mudah memaafkan yang tidak pada tempatnya malah diperparah dengan tipikal omdo atau NATO (Omong Doang dan No Action Talk Only) dari hampir semua tingkatan mulai dari guru, tokoh agama, tokoh politik, bahkan pemimpin yang seharusnya menjadi suri tauladan.
Menyedihkan sekali ketika ditayangkan kampanye KATAKAN TIDAK UNTUK KORUPSI, pada kenyataannya semua pemeran kampanye menjadi tersangka dan pelaku korupsi.
Jika keadaan ini terus berlanjut, mungkin saatnya kita menundukkan kepala dan mulai berdoa...karena hanya Tuhan yang tahu, kapan hidayah itu datang. Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa kampanye anti korupsi sejak dini itu hanya teori karena pada akhirnya mereka mendapat pembelajaran yang sangat menyesatkan dari mereka yang seharusnya menjadi panutan. Korupsi tidak akan pernah terjadi di negeri ini apabila kosakata korupsi dihilangkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Selanjutnya terserah pada pembaca untuk melanjutkannya..... :P