Rabu, 18 April 2018

BUDAYA PERMISIF DAN IRONI PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN

Seminggu yang lalu, saya mengikuti salah satu pendidikan dan pelatihan (diklat) keprofesian bertempat di salah satu hotel yang cukup ternama di daerah perbatasan Jawa Timur. Diklat tersebut diikuti oleh para dwija dari beberapa wilayah kecamatan, sehingga ada banyak macam warna karakter dari setiap dwija. Di sela-sela istirahat makan siang, udara di luar ruangan sangat panas sehingga memaksa saya untuk masuk ruangan diklat untuk sekedar ngadem. 

Ruang diklat yang mengambil tempat di hall hotel saat itu sedikit lengang, karena sebagian besar peserta masih asyik menikmati makan siang di kafetaria hotel. Ketika saya mencuci tangan di tempat cuci tangan hall, saya bertemu dengan rekan dwija dari wilayah lain, dan kamipun berbasa-basi beberapa saat. Sebelum akhinya kedatangan seorang dwija bapak-bapak di usia sangat matang alias mulai sepuh, menimbrung acara sosialisasi kami berdua. Dari bahasa tubuh, terutama tatapan mata saja saya sudah menyimpulkan bahwa si bapak tadi ada tendensi untuk flirting, Sejenak dahi saya berkerut.

Tidak saya sangka sebelumnya, si bapak-bapak tadi dengan  mata genit membisikkan ke saya, " Mbak, enggak usah pulang ya, tidur di kamar saya saja. Istirahat di sana saja loo..". Bagaikan tersengat ribuan lebah, saya terkejut bukan main, mengapa si bapak-bapak yang barusan saya temui di ruangan diklat beberapa menit yang lalu, sudah mengatakan hal tersebut kepada saya. Kata-kata tadi menyiratkan ajakan mesum luar biasa, yang tidak pernah saya maafkan. Dengan wajah merah padam, saya berdiri dari tempat duduk saya, sambil mengatakan, "Terima kasih, Bapak!". Dengan nada yang ketus.

Si Bapak tadi cuma cengar-cengir dan mengatakan, "Ini guyoonn looo..."
"Haaahhh???"  "Guyooonn?"  "Guyon dhasmu sengkleh!" 
Ingin rasanya kuludahi mukanya, jika tidak ingat unggah-ungguh dan etika profesi yang melekat pada diri saya. Kekesalan saya berasa meledak. 

Sejenak saya renungi, pakaian saya sangat tertutup, kepala saya berhijab, dan saya tidak bertingkah laku yang dapat membuat laki-laki berpikiran bahwa saya perempuan yang (maaf) nakal dan murahan. Yang lebih menyedihkan hal itu dilakukan oleh seorang laki-laki yang berprofesi sebagai GURU, yang harus digugu dan ditiru. 

Saya menarik napas dalam-dalam, memang benar-benar ironi dalam masyarakat kita yang sangat permisif dengan guyonan laki-laki terhadap wanita, yang bertendensi pelecehan seksual. Bahkan merekapun berdalih "Halah wong muk ngunu ae kok baper!" ; "Halah, muk guyon ae dilebokne ati!" ; "Halah, muk omongan ae dianggep serius!"

Yaa Allah, sungguh saya sangat kecewa, dengan apa yang terjadi dalam realita kehidupan masyarakat kita. Perempuan harus selalu membuka pintu maaf selebar-lebarnya untuk kata-kata yang melecehkannya. Karena merekapun akan dianggap SOK SUCI, SOK CANTIK, SOK BAPER bila bereaksi keras terhadap kata-kata kasar pelecehan seksual laki-laki pada perempuan.

Oh my God, haruskah perempuan menyerah pada tirani "HALAH MUK NGUNU WAE" dalam masyarakat kita? Haruskah selalu ngugemi "SING WARAS NGALAH?"

Tidak.

Nek sing waras ngalah terus, donya dikuwasani wong gendheng!