Rabu, 15 Januari 2014

Menuju Kemandirian Pendidikan

Beberapa waktu belakangan ini terdengar santer pro dan kontra implementasi kurikulum baru di sekolah-sekolah kita dari jenjang dasar hingga menengah. Banyak guru yang apatis dalam menanggapi trending topik yang satu ini. 
Di saat beberapa sekolah telah melenggang melaksanakan kurikulum baru yang bertitel "KURIKULUM 2013", sebagian besar guru-guru di sekolah yang belum terimbas masih diliputi tanda tanya besar dan cenderung apriori dengan program ini.
Keadaan ini tidak dapat dihindari oleh sebagian besar para guru di Indonesia, karena seringnya diadakan program-program baru - meskipun pada kenyataannya hanya merupakan modifikasi - seiring dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa pada saat tertentu.
Pada kebijakan kurikulum pendidikan sebelumnya ada Kurikulum CBSA, Kurikulum 2004, KTSP dan lain sebagainya. Saking bejibunnya, hingga diplesetkan KTSP sebagai Kurikulum Terserah Sampeyan Pripun. Hal ini menunjukkan bahwa guru telah lelah mengikuti kebijakan yang sama sekali tidak netral, berbau politis,  dan tendensius yang merupakan titipan dari satu masa kepemimpinan.
Lalu, bagaimana mimpi sebuah Model Pendidikan yang Mandiri?
Pendidikan di negeri kita telah terlalu jauh terkooptasi dan terintervensi kepentingan-kepentingan di luar tujuan pendidikan itu sendiri. Taruhlah sebuah perbandingan daya analitis anak-anak didik sekarang dengan anak-anak didik di era 70 atau 80an. Sebagian besar produk kurikulum saat ini ibaratnya kucing piaraan yang harus disediakan segala kebutuhannya hingga mematikan instingnya. Anak-anak produk kurikulum saat ini, mau masuk pada jenjang pendidikan berikutnya saja masih mengandalkan orangtua untuk memenuhi kebutuhan pada masa Orientasi Pengenalan Siswa dengan sekolah. Beberapa waktu yang lalu, tetangga saya malam-malam menggedor pintu rumah saya sambil memohon-mohon sudilah saya membantu mencetakkan foto anaknya yang akan digunakan sebagai salah satu syarat mengikuti ospek di sekolahnya (salah satu sekolah menengah atas) dan juga meminta beberapa bahan untuk membuat kue. Beruntunglah waktu itu saya sedang punya stoknya. Lalu saya tanya kenapa kok tidak dari kemarin minta tolong pada saya. si ibu menjawab bahwa anaknya tidak berani "matur" atau bilang. Saya tanya lagi kenapa? Si ibu kembali menjawab bahwa anaknya tidak bisa "krama inggil". Lhadalah, saya jadi tercengang, jadi selama ini pembelajaran bahasa daerah itu apa cuma mengandalkan sekolah? Saya cuma bisa tepok jidat. Ada lagi kasus saat salah satu teman guru yang sampai ijin datang terlambat, karena harus mencarikan salah satu jenis makanan yang menjadi salahsatu syarat ospek ponakannya yang baru masuk di salah satu sekolah menengah kejuruan. Itu hanya segelintir contoh, masih banyak kasus-kasus yang lain yang menjadikan kita menjadi bertanya-tanya kemanakah kreativitas yang seharusnya muncul dari sebuah proses pembelajaran?
Saya jadi ingat semasa saya di sekolah dasar di tahun 80an, ada pembelajaran pendidikan ketrampilan keluarga yang mengajarkan cara memasak, menyulam, merangkai bunga, membuat perkakas rumah tangga sederhana dan masih banyak lagi yang ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan saya di masa sekarang.
Beda dengan anak sekarang, merapikan kamar dan  memasang sprei saja tidak bisa apalagi memasak. Semuanya serba instan dan tidak mau repot. Bukannya saya phobia perubahan jaman, ketika saya kelas tiga sekolah dasar saya maupun teman-teman saya yang lain sudah jago membuat masakan rumahan sederhana yang tentunya merupakan sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang anak berumur 8 tahun saat itu pastinya.

Sebuah pendidikan yang mandiri akan mampu terwujud apabila dikembalikan lagi sebuah iklim kondusif di mana seorang guru (baca:pendidik) mampu menjalankan fungsinya tanpa harus menghadapi bully dari pihak-pihak tertentu dengan dalih ini dan itu. Semisal kebijakan pemberian tunjangan sertifikasi guru, guru selalu mendapat ancaman-ancaman yang tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan bahkan ketidakjujuran dalam berprofesi. Syarat jam mengajar minimal 24jam per minggu misalnya, dampaknya begitu hebat bagi kepiawaian para guru yang seharusnya sebagai penganjur kejujuran. 
Bila kita mau jujur, hanya segelintir saja para guru yang masih menjadi patriot dan  pahlawan bangsa tanpa tanda jasa, selebihnya yang selalu mengharapkan imbalan jasa....#awful. Dan model guru-guru yang demikian inilah yang menjadi duri dalam daging dalam proses menuju pendidikan yang mandiri....