Minggu, 12 Oktober 2014

BELAJAR DARI ANAK-ANAK

Sore itu, empat keponakan-keponakanku bermain kelereng di halaman. Ada Yudha, Jalu, Iksan, dan Fahmi. Kelihatannya asyik sekali mereka beradu ketrampilan menjentikkan bulatan kelereng ditembakkan pada sasaran yang tepat. Yudha, yang paling besar paling jago strategi. Jalu bermain nothing to loose. Iksan angka ikut, sedangkan Fahmi meskipun paling kecil, tapi jago memainkan bola bundar bening itu.
Keasyikanku memperhatikan tingkah polah mereka mendadak buyer, ketika tiba-tiba si Yudha mengacak-acak kelereng yang tersusun rapi dalam pola tertentu.
"Bubarr, bubarr!!! Curang semua nih, jadi males aku nerusin maennya!", seru Yudha dengan wajah masam.
"Eh, siapa juga yang curang? Cobak tanya yang main, siapa yang main curang?", bantah Fahmi yang merasa menang terus dari awal permainan.
"Halah, mbok uwis ojok umeg ae, nyoh kelerengku kamu ambil semua Yud, aku masih punya banyak do rumah", Jalu yang dari tadi malah lebih asyik main tabletnya daripada mengikuti serunya main kelereng berusaha menengahi.
"Ya udah ayo genti main PS aja!", seru Iksan tanpa dosa.
"Ogah, main apa saja kalo dasarnya suka curang bikin males!", sahut Yudha.
"Aku juga ogah, main apa saja kalo pengen menang terus bikin males!", balas Fahmi.
Keributan itupun reda saat dari dalam rumah, Akung memanggil mereka untuk bersiap-siap shalat Maghrib berjamaah.
Usai shalat Maghrib, mereka berkumpul mengitari meja makan. Sambil menikmati makan malam, Akung bertanya pada cucu-cucunya.
"Kowe mau dolanan nekeran, njuk sing menang sapa?", tanya Akung memecah kebisuan kedua cucu laki-lakinya si Yudha dan Fahmi.
"Yang menang jan-jane Fahmi, Kung. Tapi Yudha aja yang ngajak ribut", jawab Jalu santai.
"Ribut piye ta, Akung og orak mudheng", sahut Akung kalem.
Dua bocah yang kelihatan tidak menyukai topik pembicaraan itupun mulai panas, kelihatan dari kedua alisnya yang bertemu dan wajah masam.
Si kecil Fahmi mulai unjuk pendapat, "Gini lho, Kung. Seharusnya itu kalau mau main bareng itu mbok siap kalah juga, jangan hanya siap menang mulu. Jadi serba salah to?"
Yang merasa tersindir langsung menyahut, "Siap kalah sih siap, tapi kalau dicurangi siapa yang mau, hayooo?"
Akung hanya tersenyum sambil manggut-manggut seperti biasanya. Rupanya beliau sedang merenungi celotehan cucu-cucunya itu. Dan teringat sesuatu. Entah apa....
Gantian mereka yang koor bareng, "Akuuuuungggg!!!!"



MEMBANGUN KARAKTER MELALUI BAHASA

"Wong Jawa wis ilang Jawane" yang sering diucapkan generasi embah-embah kita dahulu sepertinya telah menjadi kenyataan. Roh "Jawa" mulai punah dari hati sanubari generasi terkini. Ada istilah "wong jawa" yang artinya orang yang tahu apa yang seharusnya dia lakukan berdasar norma kepatutan dalam masyarakat. Sehingga ada istilah "wong ora jawa" yang artinya orang yang tidak mengerti tatanan yang semestinya.

Kecenderungan di atas erat kaitannya dengan pola pikir manusia Jawa yang mulai kehilangan jati dirinya sebagai orang Jawa. Semisal, saat ini banyak pasangan muda yang lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya daripada menggunakan bahasa ibu (baca: bahasa Jawa) dengan alasan terlalu ribet. Atau mungkin mereka sendiri kurang menguasasi tata cara bertutur bahasa Jawa.

Dalam Bahasa Jawa terdapat nilai-nilai adiluhung. Dengan menggunakan rumus, pantang untuk meninggikan bahasa pada diri sendiri. Krama inggil hanya ditujukan pada orang yang "lebih" dan yang pantas dihormati. Misalnya kepada orangtua, bapak ibu guru, dan orang-orang tertentu. Orang  yang lebih tua pun tidak semua pantas dikrama inggili. Keadaan inilah yang menyebabkan sebagian besar para pasangan muda enggan untuk melatih anak-anaknya piawai berbahasa Jawa secara baik dan benar.

Semisal:
Untuk mengatakan "Saya sudah makan" berbeda dengan "Bapak sudah makan"
Kula sampun nedha
Bapak sampun dhahar

Sepintas,aturan ini sungguh menguras tenaga dan pikiran, akan tetapi bila kita kaji secara arif dan bijaksana hal tersebut mengandung filsafat yang luar biasa. Di mana kita selalu diajarkan untuk selalu berhati-hati dalam bertutur kata. Apa yang keluar dari mulut kita hendaknya sesuatu yang telah melalui uji kualitas, bukan asal jeplak atau  asal mangap.

Tidak heran, sekarang banyak sekali anak-anak sekolah menjadi murang tata atau menabrak etika dan norma-norma masyarakat. Bahkan tidak sedikit orang yang sudah berumur tetapi tingkahnya gonyak-ganyuk nglelingsemi. Bahkan bukan hal yang aneh bila ada seorang murid bertingkah di luar batas menghadapi guru. Gurupun mulai terkondisi untuk memaklumi tingkah laku murid yang sebenarnya kurang ajar.

Tidak jarang, banyak orang produk pendidikan tahun 1980 ke bawah mengernyitkan dahinya mendengar celoteh anak-anak sekarang. Hal itu terjadi juga pada anak saya. Oleh karena berbagai macam alasan salah satunya agar anak terbiasa berpikir secara "Nasional" saya tidak mengenalkan bahasa Jawa pada anak saya dari awal dia belajar bicara. Hasilnya luar biasa. :P

Suatu saat, anak saya yang berumur 5 tahun diajak Akungnya (Ayah saya) silaturahmi ke rumah salah satu teman sesama pensiunan semasa dinas dulu. Di rumah beliau banyak hal ajaib yang terjadi. Salah satunya ketika anak saya melihat kotoran di mata Akungnya. Sontak dia berseru, " Kung, ada kotoran di matamu!". Akungnya bertanya, "Endi, Le?". Bocah lugu itupun menyahut, "Itu tu, di matamu yang kiri!" Jika didengar, sungguh keterlaluan. Tetapi mau bagaimana lagi. Salah saya juga sepertinya...hehehehe.....

Sekedar contoh, seringkali kita mendengar kalimat berikut ini:
"Pak Agus, kowe mau saka ngendi?" seharusnya "Pak Agus, panjenengan kala wau saking pundi?"
"He, kowe diceluk Pak Guru kon menehi duit Bu Guru!" seharusnya "He, sampeyan ditimbali Pak Guru didhawuhi nyaosi arta Bu Guru!"
"Ayo gek mlebu kelas,Bu Guru wis teka, ngko diseneni lo!" seharusnya "Ayo gek mlebu kelas, Bu Guru wis rawuh, ngko didukani lo!"
dst.

Hampir semua guru mengeluhkan tingkah laku anak-anak didiknya, tetapi akhirnya harus menarik dan mengulur hati agar tidak terlalu makan hati. :(

Dengan semakin jauhnya anak-anak kita dari nilai-nilai luhur ini, akan menjadi hal yang sangat penting apabila di waktu-waktu mendatang diadakan lagi pengajaran dan pendidikan bahasa daerah yang intensif untuk membangun karakter anak-anak bangsa. Selama ini pengajaran bahasa daerah hanyalah lipstik murahan yang mudah luntur. Sehingga sangat perlu adanya penggerak yang mumpuni dan peduli akan nasib bahasa daerah khususnya Jawa.

Semoga dapat dijadikan pencerah.

Rabu, 15 Januari 2014

Menuju Kemandirian Pendidikan

Beberapa waktu belakangan ini terdengar santer pro dan kontra implementasi kurikulum baru di sekolah-sekolah kita dari jenjang dasar hingga menengah. Banyak guru yang apatis dalam menanggapi trending topik yang satu ini. 
Di saat beberapa sekolah telah melenggang melaksanakan kurikulum baru yang bertitel "KURIKULUM 2013", sebagian besar guru-guru di sekolah yang belum terimbas masih diliputi tanda tanya besar dan cenderung apriori dengan program ini.
Keadaan ini tidak dapat dihindari oleh sebagian besar para guru di Indonesia, karena seringnya diadakan program-program baru - meskipun pada kenyataannya hanya merupakan modifikasi - seiring dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa pada saat tertentu.
Pada kebijakan kurikulum pendidikan sebelumnya ada Kurikulum CBSA, Kurikulum 2004, KTSP dan lain sebagainya. Saking bejibunnya, hingga diplesetkan KTSP sebagai Kurikulum Terserah Sampeyan Pripun. Hal ini menunjukkan bahwa guru telah lelah mengikuti kebijakan yang sama sekali tidak netral, berbau politis,  dan tendensius yang merupakan titipan dari satu masa kepemimpinan.
Lalu, bagaimana mimpi sebuah Model Pendidikan yang Mandiri?
Pendidikan di negeri kita telah terlalu jauh terkooptasi dan terintervensi kepentingan-kepentingan di luar tujuan pendidikan itu sendiri. Taruhlah sebuah perbandingan daya analitis anak-anak didik sekarang dengan anak-anak didik di era 70 atau 80an. Sebagian besar produk kurikulum saat ini ibaratnya kucing piaraan yang harus disediakan segala kebutuhannya hingga mematikan instingnya. Anak-anak produk kurikulum saat ini, mau masuk pada jenjang pendidikan berikutnya saja masih mengandalkan orangtua untuk memenuhi kebutuhan pada masa Orientasi Pengenalan Siswa dengan sekolah. Beberapa waktu yang lalu, tetangga saya malam-malam menggedor pintu rumah saya sambil memohon-mohon sudilah saya membantu mencetakkan foto anaknya yang akan digunakan sebagai salah satu syarat mengikuti ospek di sekolahnya (salah satu sekolah menengah atas) dan juga meminta beberapa bahan untuk membuat kue. Beruntunglah waktu itu saya sedang punya stoknya. Lalu saya tanya kenapa kok tidak dari kemarin minta tolong pada saya. si ibu menjawab bahwa anaknya tidak berani "matur" atau bilang. Saya tanya lagi kenapa? Si ibu kembali menjawab bahwa anaknya tidak bisa "krama inggil". Lhadalah, saya jadi tercengang, jadi selama ini pembelajaran bahasa daerah itu apa cuma mengandalkan sekolah? Saya cuma bisa tepok jidat. Ada lagi kasus saat salah satu teman guru yang sampai ijin datang terlambat, karena harus mencarikan salah satu jenis makanan yang menjadi salahsatu syarat ospek ponakannya yang baru masuk di salah satu sekolah menengah kejuruan. Itu hanya segelintir contoh, masih banyak kasus-kasus yang lain yang menjadikan kita menjadi bertanya-tanya kemanakah kreativitas yang seharusnya muncul dari sebuah proses pembelajaran?
Saya jadi ingat semasa saya di sekolah dasar di tahun 80an, ada pembelajaran pendidikan ketrampilan keluarga yang mengajarkan cara memasak, menyulam, merangkai bunga, membuat perkakas rumah tangga sederhana dan masih banyak lagi yang ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan saya di masa sekarang.
Beda dengan anak sekarang, merapikan kamar dan  memasang sprei saja tidak bisa apalagi memasak. Semuanya serba instan dan tidak mau repot. Bukannya saya phobia perubahan jaman, ketika saya kelas tiga sekolah dasar saya maupun teman-teman saya yang lain sudah jago membuat masakan rumahan sederhana yang tentunya merupakan sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang anak berumur 8 tahun saat itu pastinya.

Sebuah pendidikan yang mandiri akan mampu terwujud apabila dikembalikan lagi sebuah iklim kondusif di mana seorang guru (baca:pendidik) mampu menjalankan fungsinya tanpa harus menghadapi bully dari pihak-pihak tertentu dengan dalih ini dan itu. Semisal kebijakan pemberian tunjangan sertifikasi guru, guru selalu mendapat ancaman-ancaman yang tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan bahkan ketidakjujuran dalam berprofesi. Syarat jam mengajar minimal 24jam per minggu misalnya, dampaknya begitu hebat bagi kepiawaian para guru yang seharusnya sebagai penganjur kejujuran. 
Bila kita mau jujur, hanya segelintir saja para guru yang masih menjadi patriot dan  pahlawan bangsa tanpa tanda jasa, selebihnya yang selalu mengharapkan imbalan jasa....#awful. Dan model guru-guru yang demikian inilah yang menjadi duri dalam daging dalam proses menuju pendidikan yang mandiri....